Kamis, 08 Oktober 2015

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DUNIA BISNIS

Disusun Oleh :
Nama : Gina Asmarani
Kelas : 1 EB 16
NPM : 27215462
Mata Kuliah : Pengantar Bisnis
Dosen : Rowland Bismark Fernando Pasaribu
Fakultas Ekonomi

S1 – Akutansi

KONFLIK KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PERTAMBANGAN (UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL DAN BATUBARA ) DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat menjadi sebuah konflik dan menimbulkan resistensi dari masyarakat di Provinsi Bangka Belitung. Melihat resiko dari UU No 4 Tahun 2009 terhadap perekonomian masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas hidup dari sektor pertambangan tersebut. Konflik yang terjadi tidak hanya konflik antara negara dan masyarakat, konflik hubungan pusat dan daerah, konflik sumberdaya alam, konflik identitas. Tetapi terdapat konflik yang timbul dari sebuah kebijakan pemerintah. Konflik muncul karena adanya kesenjangan sumber daya (material,kekuasaan, akses politik, dan otoritas. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot (1978). Konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang berbeda. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama, tetapi cara untuk mencapainya berbeda.
Kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik merupakan suatu kebijakan yang seharusnya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada didalam masyarakat. Tetapi pada saat diberlakukannya kebijakan tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat. Undang-undang sebagai hasil dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat (DPR+Presiden) juga sering menjadi konflik terhadap masyarakat. Hal tersebut tercermin dari isi dari kebijakan tersebut tidak memihak kepada rakyat tetapi kepada pihak lain. Selain dari sisi isi konflik dari kebijakan juga terjadi dari proses pembuatan kebijakan tersebut maupun dalam pengimplementasian atau pelaksanaan kebijakan tersebut. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak dalam proses implementasinya (Wibawa, 1994; 40) pertama, kelompok sasaran tidak membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang elitis. Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran tidak menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya.
Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi konflik adalah dibuatnya Undang-undang No 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara. Penyebab Undang-undang ini menjadi konflik yaitu ada beberapa pasal dari Undang-undang tersebut mengalami penolakan dari masyarakat seperti pasal 22 mengenai penambangan di Daerah Aliran Sungai dan mengenai luas wilayah minimal untuk melakukan penambangan. Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yang memiliki wilayah pertambangan yang besar dan masyarakat yang mayoritas hidup dari sector pertambangan sangat merasa dirugikan akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 mengenai Minerba tersebut. Masyarakat Bangka Belitung yang mayoritasnya hidup dari sektor pertambangan tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Asosiasi Tambang Rakyat Indonesia di Bangka Belitung sebagai wakil dari masyarakat yang bekerja disektor pertambangan menilai kebijakan Minerba tersebut sangat merugikan atau setidaknya berpotensi untuk dirugikan. Dalam undang-undang tersebut dinilai mempersulit dalam melakukan penambangan timah. Khususnya bagi para pengusaha kecil dan menengah. Fenomena yang terjadi di Bangka Belitung akibat adanya kebijakan pemerintah atas UU Minerba tersebut menuai konflik yang dinilai tidak merepresentasikan kepentingan rakyat dan memperhambat perekonomian masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas mendapatkan penghasilan ekonomi dari sektor pertambangan dan Undang-Undang yang harusnya lahir sebagai sebuah solusi tapi justru menimbulkan masalah baru.
A.    Penyebab dan Pemicu tindakan resistensi di Bangka Belitung terhadap kebijakan
Kebijakan pemerintah atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara merupakan Undang-Undang yang diterbitkan menggantikan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Diterbitkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 karena Undang-Undang yang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Selain itu Undang-Undang ini dibuat dengan alasan karena telah terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat dari dilakukannya penambangan dan pencemaran limbah yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Undang-Undang tersebut diharpkan memberi solusi terhadap masyarakat lokal atau masyarakat adat yang biasanya terkena dampak langsung dari kebijakan pertambangan. Pembangunan sektor pertambangan pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan sumber daya alam mineral dan energy yang potensial untuk dimanfatkan secara hemat dan optimal bagi kepentinga masyarakat. Bahan galian yang paling banyak dieksploitir selama ini dan telah banyak diusahakan secara besar-besaran oleh pemerintah adalah timah. Bangka Belitung merupakan Provinsi yang kaya akan kekayaan alamnya yaitu timah. Kekayaan alam yang sampai sekarang ini masih menjadi primadona bagi rakyat Bangka Belitung dan telah menjadi kekuatan tersendiri yang mampu membuat Bangka Belitung menjadi perhatian masyarakat dunia.
Provinsi Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yamg memiliki wilayah pertambangan khususnya timah berharap dengan adanya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tersebut dapat mewakili aspirasi masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor pertambangan. Seiring perjalanan waktu masyarakat Bangka Belitung merasa bahwa kebijakan pemerintah yang seharusnya mengandung misi untu kemakmuran masyarakat malah menjadi paradoks yaitu menjadi sebuah permasalahan bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan. Penambangan timah merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sampai saat ini meruapakan penyumbang devisa Negara dan pendapatan daerah terbesar di Bangka Belitung. Kebijakan Minerba yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi sebuah konflik tersendiri di daerah Bangka Belitung. Berbagai perbaikan pengaturan telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU tersebut bakal menjadi peraturan yang sangat ampuh untuk mengatur pertambangan di tanah air. Masyarakat yang hidup dari sektor pertambangan yang tergabung dalam Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (ASTRADA) menyesalkan diterbitkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009, alasannya karena beberapa pasal yang terdapat dalam kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat penambang di daerah Bangka Belitung.
 Selain itu Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) juga keberatan atas penerbitan Undang-Undang tersebut sebagai kebijakan pemerintah. Masyarakat melakukan resistensi yang dikarenakan munculnya sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan masyarakat yang hidup dari sektor pertambangan khususnya masyarakat kecil dan menengah. Menurut Asosiasi tersebut UU Minerba tidak cocok diterapkan di Bangka Belitung dan juga pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut sangat merugikan masyarakat tambang di Bangka Belitung dalam hal konteks hak-hak dasar dan hak-hak sujektifitas. Begitu juga dengan WALHI yang mengecewakan diterbirtkannya UU Minerba yang akan merusak lingkungan hidup. Penerbitan Undang-Undang Minerba tersebut ternyata membawa dampak negative yang sangat besar terahadap masyarakat tambang di daerah Bangka Belitung. Sehingga masyarakat dalam gabungan asosiasi beserta pemerintah setempat melakukan judicial review terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Masyarakat tetap saja mengalami kecemasan terhadap UU ini dikarenakan kebijakan ini memiliki kelemahan proteksi terhadap negara dan dominasi modal untuk mendapatkan wilayah usaha penambangan. Banyaknya pasal yang tidak mementingkan kepentingan masyarakat membuat masyarakat beserta asosiasi tersebut berulang kali mengajukan juducal review kepada MK terhadap kebijakan tersebut, tetapi sampai saat ini hasil yang didapat belum ada.
Beberapa hal yang menjadi keberatan masyarakat penambang baik ASTRADA, APTI, dan WALHI di Babel terhadap Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba adalah:
1. Isi dari UU yang tertuang dalam pasal 22 yaitu mengarahkan masyarakat untuk melakukan  kegiatan penambangan di dekat Daerah Aliran Sungai (DAS). Padahal, penambangan di DAS juga jelas-jelas dilarang oleh beberapa UU lainnya.
2. Luas wilayah minimal untuk melakukan kegiatan penambangan, luas wilayah minimal yang disyaratkan UU Minerba adalah lima ribu hektare.
3. Keberatan dengan sistem untuk memperoleh kuasa penambangan (KP), UU Minerba mengharuskan sistem tender dalam upaya memperoleh kuasa penambangan.
B.     Aktor Dalam penolakan atas kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah berupa Undang-Undang dibuat oleh pihak legislative. Legislatifnya yaitu DPR bersama dengan presiden. Kebijakan pada dasarnya merupakan kebijakan yang dibuat dengan berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada, begitu juga dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 ini yang awalnya dibuat untuk menjaga lingkungan hidup dan meminimalisir permasalahn yang terjadi dipertambangan. Meskipun pada akhirnya kebijakan ini menjadi konflik bagi masyarakat di daerah-daerah tertentu yang besar sektor pertambangannya dan mengalami penolakan yang sangat keras. Resistensi yang muncul akibat Undang-Undang No 4 Tahun 2009 terjadi di daerah Bangka Belitung, banyak aktor yang memiliki kekuatan dan kepentingan dalam penenetu dalam kebijakan tersebut. Aktor yang berperan dalam resitensi tersebut adala Mahkamah Konstitusi, Pemerintah khususnya Kementrian ESDM, WALHI, PT.Timah, PT.Kobaltin, ASTRADA, APTI. Setiap aktor ini memiliki kepentingan yang berbeda serta kekuatan yang lain dalam mempengaruhi resistensi kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Mekipun demikian seluruh aktor ini memiliki tujuan yang sama untuk mengubah atau merevisi sebuha kebijakan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menganai Mineral dan Batubara yang dinilai merugiakn masyarakat tambang.
C.     Resiko yang ditimbulkan ketika kebijakan tersebut diberlakukan.
Munculnya kebijakan atas mineral dan batubara membuat para masyarakat tambang merasa diasingkan. Banyak dampak yang ditimbulkan akibat dikeluarkannya kebijakan ini khususnya bagi masyarakat penambang di Bangka Belitung. Resistensi yang dilakukan oleh pihak asosiasi dan masyarakat adalah untuk meninjau kembali isi dari undang-undang tersebut sehingga tidak merugukan masyarakat setempat. Penjelasan sebelumnya telah memaparkan apa yang menjadi penyebab dan pemicu dari resistensi masyarakat yaitu diterbitkannya UU No 4 Tahun 2009 dan sepanjang dikeluarkannya kebijakan ini sampai saat ini belum diberlakukan karena adanya penolakan-penolakan dari isi Undang-undang tersebut. Hampir seluruh masyarakat penambang yang ada di Bangka Belitung merasa bahwa ketika kebijakan ini diberlakukan dan dijalankan dengan tidak merevisi isi dari undang-undang maka akan mematikan sektor pertambangan terutama yang dikelola rakyat dan swasta, selain PT.Timah dan PT.Kobatin. Selain itu perekonomian di Provinsi Bangka Belitung akan terkena dampak negative sebab sebagian besar warganya menggantungkan hidup di sektor pertambangan. Berbagai resiko akan muncul ketika kebijakan pemerintah diberlakukan atau dijalankan, banyak masyarakat yang akan menjadi tidak sejahtera karena undang-undang minerba. Selain itu ada berbagai pasal yang menjadi permasalahan sehingga menyebabkan kebijakan tersebut menjadi konflik di daerah Bangka Belitung. (http://eldestblogger-eldest.blogspot.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar