Minggu, 12 Juni 2016

Bang Fai si Orang Miskin yang Kaya


Namanya Bang Fai, orang miskin yang pekerjaannya adalah tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskan diatas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberikan jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi, Bang Fai melalang dijalanan, diatas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bang Fai, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bang Fai tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para asongan dan pemuling lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di  gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia bisa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana Bang Fai bisa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin di ambilnya di tempat sampah dimana ia bisa makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang bisa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubug tua itu bila malam telah menjelang.

Bang Fai sendiri di digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apa ia memiliki sanak saudara sedarah. Tapi tampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkan kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia beristirahat setelah mengantar seorang pelangganya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia 6 tahun yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasya . dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar diwajahnya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang di berikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu bergumam, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan aak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong rot kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bang Fai tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makananya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan utuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya....,” Jawab anak itu.

“Orang tuamu dimana....?” Tanya Bang Fai.

“Saya tidak tahu...., Ayah ibu saya pemulung....Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil....,” Sahut anak itu.

Bang Fai minta anak itu mengantarnya melihat  ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bang Fai semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Keduan anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bang Fai tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus oranglain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bang Fai kemudian membawa ketiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bang Fai mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bang Fai menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai dari jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan semangat untuk mendapatkan uang, dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan ditepat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Hmmm.... tapi masih cukup bagus.... gumamnya senang.

Bang Fai mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini....,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk oranglain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bualn demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bang Fai menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada Yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu ktak dan menyerahkannya ke sekolah Yao Hua.

Bang Fai mengatakan “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan....,” katanya dengan sendu.

Semua guru di sekolah itu menangis....

Bang Fai wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan “Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luarbiasa”.

Bila SESEORANG yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu yang mengajarkan kita untuk selalu BERSYUKUR dan BERBAGI kepada sesama.

Terimakasih J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar