Disusun
Oleh :
Nama :
Gina Asmarani
Kelas :
1 EB 16
NPM : 27215462
Mata
Kuliah : Pengantar Bisnis
Dosen :
Rowland Bismark Fernando Pasaribu
Fakultas
Ekonomi
S1 –
Akutansi
KONFLIK
KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PERTAMBANGAN (UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL
DAN BATUBARA ) DI PROVINSI BANGKA BELITUNG
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
menjadi sebuah konflik dan menimbulkan resistensi dari masyarakat di Provinsi
Bangka Belitung. Melihat resiko dari UU No 4 Tahun 2009 terhadap perekonomian
masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas hidup dari sektor pertambangan
tersebut. Konflik yang terjadi tidak hanya konflik antara negara dan
masyarakat, konflik hubungan pusat dan daerah, konflik sumberdaya alam, konflik
identitas. Tetapi terdapat konflik yang timbul dari sebuah kebijakan
pemerintah. Konflik muncul karena adanya kesenjangan sumber daya
(material,kekuasaan, akses politik, dan otoritas. Seperti yang dikemukakan oleh
Hocker dan Wilmot (1978). Konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat
konflik mempunyai tujuan yang berbeda. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan
pihak yang terlibat konflik sama, tetapi cara untuk mencapainya berbeda.
Kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik
merupakan suatu kebijakan yang seharusnya mampu mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada didalam masyarakat. Tetapi pada saat
diberlakukannya kebijakan tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat merugikan
masyarakat. Undang-undang sebagai hasil dari kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah pusat (DPR+Presiden) juga sering menjadi konflik terhadap
masyarakat. Hal tersebut tercermin dari isi dari kebijakan tersebut tidak
memihak kepada rakyat tetapi kepada pihak lain. Selain dari sisi isi konflik
dari kebijakan juga terjadi dari proses pembuatan kebijakan tersebut maupun
dalam pengimplementasian atau pelaksanaan kebijakan tersebut. Ada beberapa
kemungkinan yang menjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak dalam
proses implementasinya (Wibawa, 1994; 40) pertama, kelompok sasaran tidak
membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari kebijakan atau keputusan
tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan
dalam suatu proses konversi yang elitis. Kemungkinan kedua dari ditolaknya
keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran tidak
menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak
merasa membutuhkannya.
Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi konflik
adalah dibuatnya Undang-undang No 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara.
Penyebab Undang-undang ini menjadi konflik yaitu ada beberapa pasal dari
Undang-undang tersebut mengalami penolakan dari masyarakat seperti pasal 22
mengenai penambangan di Daerah Aliran Sungai dan mengenai luas wilayah minimal
untuk melakukan penambangan. Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yang
memiliki wilayah pertambangan yang besar dan masyarakat yang mayoritas hidup
dari sector pertambangan sangat merasa dirugikan akibat dikeluarkannya
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 mengenai Minerba tersebut. Masyarakat Bangka
Belitung yang mayoritasnya hidup dari sektor pertambangan tidak bisa berbuat
apa-apa ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Asosiasi Tambang
Rakyat Indonesia di Bangka Belitung sebagai wakil dari masyarakat yang bekerja
disektor pertambangan menilai kebijakan Minerba tersebut sangat merugikan atau
setidaknya berpotensi untuk dirugikan. Dalam undang-undang tersebut dinilai
mempersulit dalam melakukan penambangan timah. Khususnya bagi para pengusaha
kecil dan menengah. Fenomena yang terjadi di Bangka Belitung akibat adanya
kebijakan pemerintah atas UU Minerba tersebut menuai konflik yang dinilai tidak
merepresentasikan kepentingan rakyat dan memperhambat perekonomian masyarakat
di Bangka Belitung yang mayoritas mendapatkan penghasilan ekonomi dari sektor pertambangan
dan Undang-Undang yang harusnya lahir sebagai sebuah solusi tapi justru
menimbulkan masalah baru.
A. Penyebab dan Pemicu tindakan resistensi di Bangka
Belitung terhadap kebijakan
Kebijakan pemerintah atas Undang-Undang No 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara merupakan Undang-Undang yang diterbitkan
menggantikan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Diterbitkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 karena Undang-Undang
yang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Selain itu
Undang-Undang ini dibuat dengan alasan karena telah terjadi kerusakan
lingkungan yang sangat parah akibat dari dilakukannya penambangan dan
pencemaran limbah yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Undang-Undang
tersebut diharpkan memberi solusi terhadap masyarakat lokal atau masyarakat
adat yang biasanya terkena dampak langsung dari kebijakan pertambangan.
Pembangunan sektor pertambangan pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan
sumber daya alam mineral dan energy yang potensial untuk dimanfatkan secara
hemat dan optimal bagi kepentinga masyarakat. Bahan galian yang paling banyak
dieksploitir selama ini dan telah banyak diusahakan secara besar-besaran oleh
pemerintah adalah timah. Bangka Belitung merupakan Provinsi yang kaya akan
kekayaan alamnya yaitu timah. Kekayaan alam yang sampai sekarang ini masih
menjadi primadona bagi rakyat Bangka Belitung dan telah menjadi kekuatan
tersendiri yang mampu membuat Bangka Belitung menjadi perhatian masyarakat dunia.
Provinsi Bangka Belitung sebagai salah satu daerah
yamg memiliki wilayah pertambangan khususnya timah berharap dengan adanya
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tersebut dapat mewakili aspirasi masyarakat yang
mayoritas bekerja di sektor pertambangan. Seiring perjalanan waktu masyarakat
Bangka Belitung merasa bahwa kebijakan pemerintah yang seharusnya mengandung
misi untu kemakmuran masyarakat malah menjadi paradoks yaitu menjadi sebuah
permasalahan bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan. Penambangan
timah merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sampai saat ini
meruapakan penyumbang devisa Negara dan pendapatan daerah terbesar di Bangka
Belitung. Kebijakan Minerba yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi
sebuah konflik tersendiri di daerah Bangka Belitung. Berbagai perbaikan
pengaturan telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. UU tersebut bakal menjadi peraturan yang
sangat ampuh untuk mengatur pertambangan di tanah air. Masyarakat yang hidup
dari sektor pertambangan yang tergabung dalam Asosiasi Tambang Rakyat Daerah
(ASTRADA) menyesalkan diterbitkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009, alasannya
karena beberapa pasal yang terdapat dalam kebijakan tersebut sangat memberatkan
masyarakat penambang di daerah Bangka Belitung.
Selain itu
Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) juga keberatan atas penerbitan
Undang-Undang tersebut sebagai kebijakan pemerintah. Masyarakat melakukan
resistensi yang dikarenakan munculnya sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan
masyarakat yang hidup dari sektor pertambangan khususnya masyarakat kecil dan
menengah. Menurut Asosiasi tersebut UU Minerba tidak cocok diterapkan di Bangka
Belitung dan juga pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut sangat
merugikan masyarakat tambang di Bangka Belitung dalam hal konteks hak-hak dasar
dan hak-hak sujektifitas. Begitu juga dengan WALHI yang mengecewakan
diterbirtkannya UU Minerba yang akan merusak lingkungan hidup. Penerbitan
Undang-Undang Minerba tersebut ternyata membawa dampak negative yang sangat
besar terahadap masyarakat tambang di daerah Bangka Belitung. Sehingga
masyarakat dalam gabungan asosiasi beserta pemerintah setempat melakukan judicial
review terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
ini adalah Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Masyarakat tetap saja
mengalami kecemasan terhadap UU ini dikarenakan kebijakan ini memiliki
kelemahan proteksi terhadap negara dan dominasi modal untuk mendapatkan wilayah
usaha penambangan. Banyaknya pasal yang tidak mementingkan kepentingan
masyarakat membuat masyarakat beserta asosiasi tersebut berulang kali
mengajukan juducal review kepada MK terhadap kebijakan tersebut, tetapi sampai
saat ini hasil yang didapat belum ada.
Beberapa hal yang menjadi keberatan masyarakat
penambang baik ASTRADA, APTI, dan WALHI di Babel terhadap Undang-Undang No 4
Tahun 2009 tentang Minerba adalah:
1. Isi dari UU yang tertuang dalam pasal 22 yaitu mengarahkan
masyarakat untuk melakukan kegiatan penambangan di dekat Daerah Aliran
Sungai (DAS). Padahal, penambangan di DAS juga jelas-jelas dilarang oleh
beberapa UU lainnya.
2. Luas wilayah minimal untuk melakukan kegiatan penambangan, luas
wilayah minimal yang disyaratkan UU Minerba adalah lima ribu hektare.
3. Keberatan dengan sistem untuk memperoleh kuasa penambangan (KP), UU
Minerba mengharuskan sistem tender dalam upaya memperoleh kuasa penambangan.
B. Aktor Dalam penolakan atas kebijakan
pemerintah
Kebijakan pemerintah berupa Undang-Undang dibuat oleh
pihak legislative. Legislatifnya yaitu DPR bersama dengan presiden. Kebijakan
pada dasarnya merupakan kebijakan yang dibuat dengan berbagai solusi untuk
menyelesaikan masalah yang ada, begitu juga dengan Undang-Undang No 4 Tahun
2009 ini yang awalnya dibuat untuk menjaga lingkungan hidup dan meminimalisir
permasalahn yang terjadi dipertambangan. Meskipun pada akhirnya kebijakan ini
menjadi konflik bagi masyarakat di daerah-daerah tertentu yang besar sektor
pertambangannya dan mengalami penolakan yang sangat keras. Resistensi yang
muncul akibat Undang-Undang No 4 Tahun 2009 terjadi di daerah Bangka Belitung,
banyak aktor yang memiliki kekuatan dan kepentingan dalam penenetu dalam
kebijakan tersebut. Aktor yang berperan dalam resitensi tersebut adala Mahkamah
Konstitusi, Pemerintah khususnya Kementrian ESDM, WALHI, PT.Timah, PT.Kobaltin,
ASTRADA, APTI. Setiap aktor ini memiliki kepentingan yang berbeda serta
kekuatan yang lain dalam mempengaruhi resistensi kebijakan yang telah dibuat
oleh pemerintah pusat. Mekipun demikian seluruh aktor ini memiliki tujuan yang
sama untuk mengubah atau merevisi sebuha kebijakan Undang-Undang No 4 Tahun
2009 menganai Mineral dan Batubara yang dinilai merugiakn masyarakat tambang.
C. Resiko yang ditimbulkan ketika kebijakan
tersebut diberlakukan.
Munculnya kebijakan atas mineral dan batubara membuat
para masyarakat tambang merasa diasingkan. Banyak dampak yang ditimbulkan
akibat dikeluarkannya kebijakan ini khususnya bagi masyarakat penambang di
Bangka Belitung. Resistensi yang dilakukan oleh pihak asosiasi dan masyarakat
adalah untuk meninjau kembali isi dari undang-undang tersebut sehingga tidak
merugukan masyarakat setempat. Penjelasan sebelumnya telah memaparkan apa yang
menjadi penyebab dan pemicu dari resistensi masyarakat yaitu diterbitkannya UU
No 4 Tahun 2009 dan sepanjang dikeluarkannya kebijakan ini sampai saat ini
belum diberlakukan karena adanya penolakan-penolakan dari isi Undang-undang
tersebut. Hampir seluruh masyarakat penambang yang ada di Bangka Belitung
merasa bahwa ketika kebijakan ini diberlakukan dan dijalankan dengan tidak
merevisi isi dari undang-undang maka akan mematikan sektor pertambangan
terutama yang dikelola rakyat dan swasta, selain PT.Timah dan PT.Kobatin.
Selain itu perekonomian di Provinsi Bangka Belitung akan terkena dampak
negative sebab sebagian besar warganya menggantungkan hidup di sektor
pertambangan. Berbagai resiko akan muncul ketika kebijakan pemerintah
diberlakukan atau dijalankan, banyak masyarakat yang akan menjadi tidak
sejahtera karena undang-undang minerba. Selain itu ada berbagai pasal yang
menjadi permasalahan sehingga menyebabkan kebijakan tersebut menjadi konflik di
daerah Bangka Belitung. (http://eldestblogger-eldest.blogspot.co.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar